TUGAS II
Teori Kepribadian Sehat
*Aliran
Psikoanalisa*
Dasar
dari terapi psikoanalisa adalah konsep dari Sigmund Frued dan beberapa
pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisa adalah menyadarkan individu dari konflik
yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan ( defense mechanism) yang
digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut tidak di
sadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang
lebih rasional dan realistis.
Dalam bentuknya yang asli, terapi
psikoanalisa bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya
bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun.
Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan
pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson
dkk., 1993).
Teknik.
Teknik-teknik dalam psikoanalisa disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran,
memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami
makna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien
kearah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan
pemahaman masalah-masalah intelektual dan emosional. Untuk itu diperlukan
teknik-teknik dasar psikoanalisa, yaitu :
1. Asosiasi
bebas
2. Penafsiran
3. Analisis
mimpi
4. Resistensi
5. Transferensi
Asosiasi Bebas
Asosiasi
bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Terapis meminta klien agar
membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari.
Serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran.
Cara yang khas adalah dengan mempersilahkan klien berbaring di atas balai-balai
sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan tian klien
pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995).
Asosiasi
bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa
lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa
lampau, yang kemudian dikenal dengan katartis.
Katartis hanya menghasilokan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman
menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
Penafsiran
Penafsiran merupakan prosedur dasar
didalam menganalisis asosiaai bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi.
Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan,
dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimenisfasikan dalam
mimpi, asosiasi bebas, referensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi
dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru
dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut.
Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak
terhalangi alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995).
Analisis Mimpi
Analisi mimpi adalah prosedur atau
cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien
pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur,
pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul kepermukaan,meski
dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju
ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat ,
kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat di ungkapkan. Beberapa motivasi
sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya diungkapkan dalam
bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda (Corey,
1995).
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif -motif yang
disamarkan. tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu
menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif
tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan kedalam isi manifes yang
lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana
adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan
dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Didalam
proses terapi, terapi juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara
bebas sejumblah aspek isi manifes impian
untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
Resistensi
Resistensi
adalah suatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan
bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien
dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan
pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika
tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang
tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas
dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995).
Dalam
proses terapi, resistensi bukan merupakan hal yang harus diatasi, karena
merupakan perwujudan dari pertahanan diri klien yang biasanya dilakukan
sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien
terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi
hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
Transferensi
Resistensi
dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis.
Transferensi dalam keadaan normal adalah memindahkan emosi dari satu objek ke
objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orang tua ke
terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh
dari mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat da kasih sayang
pengganti. Seperti ketika seorang klien lekat dan jatuh cinta pada terapis
akibat pemindahan dari orang tuanya (Chaplin, 1995).
Transferensi
mengejawantah dalam proses terapi ketika “urusan yang tidak selesai”
(unfinished business) masa lalu klien dan orang-orang yang dianggap berpengaruh
menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi kepada terapis sebagaimana dia
bereaksi kepada bapak/ibunya. Dalam berhubungan dengan terapis, klien kembali
mengalami perasaan menolak dan membenci sebagaimana dulu dia benci terhadap
orang tuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien
dengan kenetralan., objektifitas, keanoniman, dan kepasifan yang relatif.
Dengan cara ini, diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya
dengan terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas
sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik, atau deprivasi-deprivasinya.
Serta mengatakan pada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu
terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).
*Analisis
Eksistensial / Humanistik*
Dasar
dari terapi humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta
memusatkan perhatian pada kecendrungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan
dirinya. Dalam terapi ini para alhi tidak mencoba menafsirkan perilaku
penderita, tapi berwujud untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang
dan membantunya dalam memecahkan masalahnya sensirian. Dalah satu pendekatan
yang terkenal adalah Humanistik adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.
Client-Centered Therapy
Client-Centered Therapy
adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Roger yang
didasarkan pada asumsi bahwa klien adalah ahli yang paling baik bagi dirinya
sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Tugas terapis adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri.
Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan penyelidik, membuat penafsiran, dan
mengajukan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian
lebih dikenal dengan istilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993).
Untuk
mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri
terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain: empati, rapport, dan
ikhlas. Empati adalah kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan
keadaan klien dan kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien.
Terapis berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut pandang
klien sendiri. Rapport adalah menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya,
termasuk pengakuan orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara
konstruktif dengan kemampuannya. Ikhlas adalah terbuka, jujur, dan tidak
berpura-pura atau bertindak dibalik topeng profrsinya (Atkinson dkk.,1993).
Selain tiga hal tersebut didalam konseling harus terdapat pula ada jaminan
bahwa masalah yang diungkapkan oleh klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau
tidak sama sekali jika klien sudah dapat memahami permasalahannya sendiri.
Menurut Roger (dalam Corey, 1995)
pertanyaan “siapa saya ?” tidak menjadi penyebab kebanyakan orang banyak datang
untuk psikoterapi. Kebanyakan dari mereka ini bertanya “ bagaimana saya dapat
menemukan diri nyata saya?” bagaimana saya menjadi apa yang saya inginkan?”
bagaimana saya memahami apa saya apa dibalik dinding saya dan menjadi diri
sendiri?” oleh karena itu tujuan dari Client-Centered Therapy adalah
menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha untuk membantu klien untuk menjadi
pribadi yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tertentu terapis perlu
mengusahakan agar klien dpat menghilangkan topeng yang dikenakan dan
mengarahkannya menjadi dirinya sendiri.
Sumber
dari :
Prabowo.
H. 1995. Seni PsikopatologiSebagai Alat Bantu Terapi. Edisi Revisi. Makalah
(tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
*Aliran Behaviorisme*
Menurut
pemahaman Behaviourisme Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia sebagaimana yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Behaviorisme tidak
mempersoalkan hakikat dari jiwa tetapi hanya mempersoalkan tingkah laku
(behavior) yang tampak saja yang dalam arti tingkah laku yang dapat diamati.
Karena objeknya tingkah laku atau behavior manusia (ti behave artinya
berkelakuan) maka ilmu jiwa ini disebut ilmu jiwa tingkah laku. Ajarannya atau
pahamnya lalu disebut behaviorisme atau behavioristik. Yang artinya serba
tingkah laku.
Aliran ini berpangkal pada anggapan bahwa manusia itu
tidak mungkin diselidiki, dan dapat diteliti ialah tingkah laku manusia
sebagaimana yang tampak dalam pengalaman-pengalaman hidup manusia. Tokoh
tokohnya adalah Mac Dougall, W. James, J.B. Watson, Thorndike. Aliran
Behaviorisme berkembang di USA. Yang terkenal misalnya eksperimen Thorndike
dengan kucing yang dimasukkan kedalam kerangkeng (problem box). Diluar
kerangkeng tadi terdapat sepotong daging, sedangkan kucing dicoba untuk dibuat
lapar, sementara kucing yang lapar tadi dimasukkan kedalam kerangkeng,
timbullah usaha-usaha kucing itu untuk menerkam daging yang terdapat diluar
kerangkeng. Dan suatu ketika kaki kucing menyentuh grendel pintu, seketika itulah
terbuka pintu kerangkeng, kucingpun dengan cepat menerkam daging. Percobaan ini
diulang beberapa kali, dan akhirnya semakin lama banyak diulangi semakin pendek
waktu untuk membuka pintu kerangkeng. Kesimpulannya ialah bahwa proses belajar
pada kucing (demikian pula pada hewan lainnya) melalui percobaan percobaan dan
kegagalan-kegagalan (trial and error) dan dengan diulang-ulang sampai pada
suatu ketika timbul pengertian tidak dari proses berfikir tetapi dari banyak
mencoba dan mengalami kegagalan, jadi berdasarkan dari
pengalaman-pengalamannya.
Pendapat-pendapat
ekstrim dari kaum behaviorisme / behavioristik :
-
Anak tidak mempunyai
pembawaan, pendidikan adalah alat kuasa.
-
Membiasakan adalah alat
mendidik yang paling efisien, demikian dresseaur.
-
Perbuatan manusia tidak
lain dari rangkaian kebiasaan, dan kebiasaan adalah rangkaian dari
refleks-refleks. Misalnya senyum tiada lain dari gerakan-gerakan bibir yang
tidak terbuka diikuti oleh gerakan-gerakan hidung dan perubahan air muka.
-
Emosi adalah gejala
periferi dan bukan gejala dari dalam jiwa. Kita tertawa bukan karena gembira,
tetapi gembira karena tertawa. Menangis bukan karena sedih, tapi sedih karena
menangis. Lari bukan karena takut, tapi takut karena lari, dan seterusnya.
Sumber
dari :
Steven,
S.S., Editor, Handbook of Experimental
Psychology, John Willy and Sons, Inc., New York, 1951.
Branca,
Albert A., Psychology, The Science of
Behavior, Allyn and Bacon Inc., Botton, 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar