Hello


Welcome Graphic #135


Senin, 01 April 2013

tugas Kesehatan Mental II


TUGAS  II

Teori Kepribadian Sehat

*Aliran Psikoanalisa*
Dasar dari terapi psikoanalisa adalah konsep dari Sigmund Frued dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisa adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan ( defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut tidak di sadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis.
            Dalam bentuknya yang asli, terapi psikoanalisa bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
Teknik. Teknik-teknik dalam psikoanalisa disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien kearah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisa, yaitu :
1.      Asosiasi bebas
2.      Penafsiran
3.      Analisis mimpi
4.      Resistensi
5.      Transferensi

Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari. Serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilahkan klien berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan tian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995).
Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lampau, yang kemudian dikenal dengan katartis. Katartis hanya menghasilokan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).

Penafsiran
            Penafsiran merupakan prosedur dasar didalam menganalisis asosiaai bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimenisfasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, referensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalangi alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995).

Analisis Mimpi
            Analisi mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul kepermukaan,meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat , kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat di ungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda (Corey, 1995).
            Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif -motif   yang disamarkan. tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan kedalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Didalam proses terapi, terapi juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumblah aspek isi  manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
Resistensi
Resistensi adalah suatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995).
Dalam proses terapi, resistensi bukan merupakan hal yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan diri klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).


Transferensi
Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah memindahkan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orang tua ke terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh dari mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat da kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien lekat dan jatuh cinta pada terapis akibat pemindahan dari orang tuanya (Chaplin, 1995).
Transferensi mengejawantah dalam proses terapi ketika “urusan yang tidak selesai” (unfinished business) masa lalu klien dan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi kepada terapis sebagaimana dia bereaksi kepada bapak/ibunya. Dalam berhubungan dengan terapis, klien kembali mengalami perasaan menolak dan membenci sebagaimana dulu dia benci terhadap orang tuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan., objektifitas, keanoniman, dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dengan terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik, atau deprivasi-deprivasinya. Serta mengatakan pada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).

*Analisis Eksistensial / Humanistik*
Dasar dari terapi humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecendrungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan dirinya. Dalam terapi ini para alhi tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tapi berwujud untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya dalam memecahkan masalahnya sensirian. Dalah satu pendekatan yang terkenal adalah Humanistik adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.

Client-Centered Therapy
Client-Centered Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Roger yang didasarkan pada asumsi bahwa klien adalah ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan penyelidik, membuat penafsiran, dan mengajukan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993).
Untuk mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain: empati, rapport, dan ikhlas. Empati adalah kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien dan kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut pandang klien sendiri. Rapport adalah menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan kemampuannya. Ikhlas adalah terbuka, jujur, dan tidak berpura-pura atau bertindak dibalik topeng profrsinya (Atkinson dkk.,1993). Selain tiga hal tersebut didalam konseling harus terdapat pula ada jaminan bahwa masalah yang diungkapkan oleh klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau tidak sama sekali jika klien sudah dapat memahami permasalahannya sendiri.
            Menurut Roger (dalam Corey, 1995) pertanyaan “siapa saya ?” tidak menjadi penyebab kebanyakan orang banyak datang untuk psikoterapi. Kebanyakan dari mereka ini bertanya “ bagaimana saya dapat menemukan diri nyata saya?” bagaimana saya menjadi apa yang saya inginkan?” bagaimana saya memahami apa saya apa dibalik dinding saya dan menjadi diri sendiri?” oleh karena itu tujuan dari Client-Centered Therapy adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha untuk membantu klien untuk menjadi pribadi yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tertentu terapis perlu mengusahakan agar klien dpat menghilangkan topeng yang dikenakan dan mengarahkannya menjadi dirinya sendiri.
Sumber dari :
Prabowo. H. 1995. Seni PsikopatologiSebagai Alat Bantu Terapi. Edisi Revisi. Makalah (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

*Aliran Behaviorisme*

Menurut pemahaman Behaviourisme Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagaimana yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Behaviorisme tidak mempersoalkan hakikat dari jiwa tetapi hanya mempersoalkan tingkah laku (behavior) yang tampak saja yang dalam arti tingkah laku yang dapat diamati. Karena objeknya tingkah laku atau behavior manusia (ti behave artinya berkelakuan) maka ilmu jiwa ini disebut ilmu jiwa tingkah laku. Ajarannya atau pahamnya lalu disebut behaviorisme atau behavioristik. Yang artinya serba tingkah laku.   
            Aliran ini berpangkal pada anggapan bahwa manusia itu tidak mungkin diselidiki, dan dapat diteliti ialah tingkah laku manusia sebagaimana yang tampak dalam pengalaman-pengalaman hidup manusia. Tokoh tokohnya adalah Mac Dougall, W. James, J.B. Watson, Thorndike. Aliran Behaviorisme berkembang di USA. Yang terkenal misalnya eksperimen Thorndike dengan kucing yang dimasukkan kedalam kerangkeng (problem box). Diluar kerangkeng tadi terdapat sepotong daging, sedangkan kucing dicoba untuk dibuat lapar, sementara kucing yang lapar tadi dimasukkan kedalam kerangkeng, timbullah usaha-usaha kucing itu untuk menerkam daging yang terdapat diluar kerangkeng. Dan suatu ketika kaki kucing menyentuh grendel pintu, seketika itulah terbuka pintu kerangkeng, kucingpun dengan cepat menerkam daging. Percobaan ini diulang beberapa kali, dan akhirnya semakin lama banyak diulangi semakin pendek waktu untuk membuka pintu kerangkeng. Kesimpulannya ialah bahwa proses belajar pada kucing (demikian pula pada hewan lainnya) melalui percobaan percobaan dan kegagalan-kegagalan (trial and error) dan dengan diulang-ulang sampai pada suatu ketika timbul pengertian tidak dari proses berfikir tetapi dari banyak mencoba dan mengalami kegagalan, jadi berdasarkan dari pengalaman-pengalamannya.
Pendapat-pendapat ekstrim dari kaum behaviorisme / behavioristik :
-          Anak tidak mempunyai pembawaan, pendidikan adalah alat kuasa.
-          Membiasakan adalah alat mendidik yang paling efisien, demikian dresseaur.
-          Perbuatan manusia tidak lain dari rangkaian kebiasaan, dan kebiasaan adalah rangkaian dari refleks-refleks. Misalnya senyum tiada lain dari gerakan-gerakan bibir yang tidak terbuka diikuti oleh gerakan-gerakan hidung dan perubahan air muka.
-          Emosi adalah gejala periferi dan bukan gejala dari dalam jiwa. Kita tertawa bukan karena gembira, tetapi gembira karena tertawa. Menangis bukan karena sedih, tapi sedih karena menangis. Lari bukan karena takut, tapi takut karena lari, dan seterusnya.
Sumber dari :
Steven, S.S., Editor, Handbook of Experimental Psychology, John Willy and Sons, Inc., New York, 1951.
Branca, Albert A., Psychology, The Science of Behavior, Allyn and Bacon Inc., Botton, 1965.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar