TUGAS I
Konsep
Sehat
Sehat adalah keadaan dimana
seseorang dikatakan tidak sakit (fisik, jiwa, dan spiritualnya. Tidak hanya
dalam hal sehat yang terbebas dari penyakit, tapi juga sehat secara kehidupan
seseorang sehari-hari, baik secara emosional, fisiologis, interaksi sosial
dengan orang disekitarnya, serta juga spiritualnya (Tuhan).
Sejarah
Perkembangan Kesehatan Mental
Anggapan lama di Cina, Mesir maupun
Yahudi kuno mengenai seseorang yang mengalami gangguan jiwa adalah kerna di
kuasai oleh roh jahat. Yang dapat disembuhkan dengan doa, mantra, sihir, dan
pengobatan-pengobatan alami tertentu. Jika cara pengobatan ini tidak dapat
menyembuhkan, maka langkah berikutnya untuk mengusir roh jahat tersebut adalah
upaya agar roh jahat tersebut tidak kerasan pada tubuh si penderita. Cara yang
dilakukan terkadang ekstrim yaitu dengan cara mencambuk, membirkan lapar, atau
melemparinya dengan batu sampai si penderita meninggal (Atkinson dkk., 1993).
Kemajuan pemikiran dalam upaya
menyembuhkan penderita gangguan jiwa adalah ketika Hippocrates, seorang dokter
Yunani Kuno menolak anggapan bahwa adanya roh jahat. Ia berpendapat gangguan
terjadi karena adanya kekacauan ketidakseimbangan cairan dalam tubuh penderita.
Hippocrates dan beberapa pengikutnya (para dokter dari Yunani dan Romawi)
menganjurkan cara menyembuhkan yang lebih manusiawi. Mereka lebih mementingkan
lingkungan yang lebih menyenangkan, olahraga, atau aturan makan yang teratur,
pijat atau mandi yang menyejukkan; disamping pengobatan yang kurang
menyenangkan seperti: mengeluarkan darah, menggunakan obat pencahar, dan
pengekangan mekanis (Atkinson dkk., 1993).
Perkembangan yang telah dimulai oleh
Hippocrates dan kawan-kawan tersebut sayangnya tidak di ikuti dengan
perkembangan lebih lanjut, sehingga pada abad pertengahan kemudia berkembang
lagi adalah cerita takhayul primitif dan adanya keyakinan tentang setan. Para
penderita gangguan jiwa dianggap berada dalam kelompok setan yang memiliki
kekuatan gaib yang dapat menimbulkan bencana atau kecelakaan bagi orang lain. Mereka
ini lalu diperlakukan secara kejam karena ada keyakinan bahwa dalam memukul,
membuatnya lapar, dan menyiksa, setan yang masuk didalamnya yang akan
menderita. Kekejaman ini memuncak pada abad ke-15, 16, dan 17, karena saat masa
itu sedang berlangsung pengadilan ilmu sihir yang akhirnya menghukum mati semua
penderita (Atkinson dkk., 1993).
Lahirnya Rumah Sakit
Jiwa
Pada akhir abad pertengahan, banyak
rumah sakit didirikan untuk menanggulangi para penderita penyakit jiwa. Rumah
Sakit ini bukanlah merupakan pusat perawatan dan penyembuhan, melainkan
merupakan semavam penjara dimana para penghuninya dirantai dan didalam sel yang
gelap dan kotor, serta dilakukan secara tidak manusiawi (seperti binatang).
Pada tahun 1792 ada kabar
mengembirakan ketika Phillipe Pinel ditempatkan pada salah satu rumah sakit
jiwa di Paris, Pinel membuat semacam eksperimen dengan cara melepas rantai yang
mengikat penderita. Diluar dugaan orang-orang yang skeptis, yang menganggap
Pinel gila karena keberaniannya melepas rantai “binatang” tersebut, percobaan
Pinel justru menunjukkan hasil yang lebih baik. Ketika dilepaskan dari
kekangannya, lalu ditempatkan di tempat yang bersih dan bercahaya, diperlakukan
dengan baik, banyak penderita yang dulunya dianggap tidak dapat disembuhkan
memperlihatkan kemajuan yang pesat sehingga diperbolehkan untuk menginggalakan
rumah sakit jiwa ( Atkinson dkk., 1993).
Pada awal abad ke-20, dicapai
kemajuan besar dalam bidang obat-obatan dan psikologi. Pada tahun 1905,
gangguan fisik yang dikenal sebagai general
paresis terbukti memiliki penyebab yang sifatnya fisik, yaitu infeksi
sifilis yang diderita sebelum timbulnya gejala gangguan tersebut. General
paresis ditandai dengan adanya penurunan fungsi mental dan fisik seseorang
secara lambat., perubahan kepribadian, serta adanya delusi dan halusinasi.
Tanpa pengobatan penderita penyakit ini akan meninggal dalam beberapa tahun.
Pada masa ini general paresis merupakan lebih dari 10% penyebab timbulnya
penyakit jiwa, namun pada saat ini hanya sedikit kasus yang dilaporkan berkat
efektivitas penisilin sebagai oabt untuk menyembuhkan sifilis (Dale dalam Atkinson
dkk., 1993).
Penemuan general paresis tersebut
meyakinkan para ahli bahwa penyakit jiwa berpangkal pada gangguan biologis.
Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan dua orang ahli yang berbeda juga
telah meletakkan hasil pijakan yang penting. Sigmund Freud dan para pengikutnya
meletakkan dasar pemahaman dasar penyakit jiwa sebagai gangguan yang berkaitan
dengan faktor psikologis, sementara Ivan Pavlov telah berhasil menunjukkan
bahwa binatang dapat terganggu karena emosional bila dipaksa mengambil
keputusan diluar kemampuan mereka (Atkinson dkk., 1993).
Kemajuan-kemajuan kemampuan diatas
agaknya tidak mempengaruhi pandangan masyarakat, bahwa rumah sakit jiwa itu
adalah suatu tempat horor dimana para penghuninya dihinggapi rasa takut. Adalah
Clifford Beers, mantan penderita gangguan manik depresif hingga pernah
dirumahsakitkan selama 3 tahun. Selama perawatannya di rumah sakit jiwa, Beers
tidak lagi mendapat perlakuan di rantai maupun disiksa, akan tetapi karena
penderitaannya dia pernah memakai baju pengikat (straitjacket) untuk mengendaliakn pemberontakannya. Kurangnya dana
pada rumah sakit jiwa pada umumnya menyebabkan suatu rumah sakit jiwa sesak
dengan barang-barang, makanan yang bergizi rendah, serta para pembezoek yang tidak simpatik; semua itu
yang menyebabkan rumah sakit jiwa jauh dari menyenangkan. Setelah sembuh, Beers
menuliskan semua pengalamannya selama di rumah sakit jiwa tersebut dalam
bukunya yang terkenal pada waktu itu: A Mind
That Found Itself (1908). Beers tidak henti-hentinya untuk mendidik
masyarakat tentang penyakit jiwa serta membantu mengorganisasikan Komite
Nasional untuk Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1950, organisasi ini lalu bergabung
dengan dua kelompok lain untuk membentuk Asosiasi Nasional Kesehatan Jiwa.
Gerakan ini ternyata berpengaruh besar pada pencegahan dan pengobatan gangguan
jiwa.
Sumber
dari :
Prabowo.
H. 1995. Seni PsikopatologiSebagai Alat Bantu Terapi. Edisi Revisi. Makalah
(tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Pendekatan Kesehatan
Mental
Orientasi Klasik
Orientasi
klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan
sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat
adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya.
Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak
ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak
menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang
kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental
dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi.
Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat
atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh
kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak
sehat mental.
Dengan
menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya
dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak
dapat menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya
semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu
dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan
tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam
masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang
absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain
yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan
perilaku yang diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku
yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan
agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya
tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat
dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat
mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya?
Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat
mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan
contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal
yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita
tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’
pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas
terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat
yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya
seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat
mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia
adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri,
kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara
keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya
berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
Seseorang
dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan
untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh
orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata
yang menjadi pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang
bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang
sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya
perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran
tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan
perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah
mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau
menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan
dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya
tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa
kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat,
karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan
kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam
pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan
sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.
http://unpredictablepeople.wordpress.com/2011/03/24/pendekatan-kesehatan-mental/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar