Hello


Welcome Graphic #135


Senin, 01 April 2013

tugas kesehatan mental I


TUGAS  I

Konsep Sehat
            Sehat adalah keadaan dimana seseorang dikatakan tidak sakit (fisik, jiwa, dan spiritualnya. Tidak hanya dalam hal sehat yang terbebas dari penyakit, tapi juga sehat secara kehidupan seseorang sehari-hari, baik secara emosional, fisiologis, interaksi sosial dengan orang disekitarnya, serta juga spiritualnya (Tuhan).

Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
            Anggapan lama di Cina, Mesir maupun Yahudi kuno mengenai seseorang yang mengalami gangguan jiwa adalah kerna di kuasai oleh roh jahat. Yang dapat disembuhkan dengan doa, mantra, sihir, dan pengobatan-pengobatan alami tertentu. Jika cara pengobatan ini tidak dapat menyembuhkan, maka langkah berikutnya untuk mengusir roh jahat tersebut adalah upaya agar roh jahat tersebut tidak kerasan pada tubuh si penderita. Cara yang dilakukan terkadang ekstrim yaitu dengan cara mencambuk, membirkan lapar, atau melemparinya dengan batu sampai si penderita meninggal (Atkinson dkk., 1993).
            Kemajuan pemikiran dalam upaya menyembuhkan penderita gangguan jiwa adalah ketika Hippocrates, seorang dokter Yunani Kuno menolak anggapan bahwa adanya roh jahat. Ia berpendapat gangguan terjadi karena adanya kekacauan ketidakseimbangan cairan dalam tubuh penderita. Hippocrates dan beberapa pengikutnya (para dokter dari Yunani dan Romawi) menganjurkan cara menyembuhkan yang lebih manusiawi. Mereka lebih mementingkan lingkungan yang lebih menyenangkan, olahraga, atau aturan makan yang teratur, pijat atau mandi yang menyejukkan; disamping pengobatan yang kurang menyenangkan seperti: mengeluarkan darah, menggunakan obat pencahar, dan pengekangan mekanis (Atkinson dkk., 1993).
            Perkembangan yang telah dimulai oleh Hippocrates dan kawan-kawan tersebut sayangnya tidak di ikuti dengan perkembangan lebih lanjut, sehingga pada abad pertengahan kemudia berkembang lagi adalah cerita takhayul primitif dan adanya keyakinan tentang setan. Para penderita gangguan jiwa dianggap berada dalam kelompok setan yang memiliki kekuatan gaib yang dapat menimbulkan bencana atau kecelakaan bagi orang lain. Mereka ini lalu diperlakukan secara kejam karena ada keyakinan bahwa dalam memukul, membuatnya lapar, dan menyiksa, setan yang masuk didalamnya yang akan menderita. Kekejaman ini memuncak pada abad ke-15, 16, dan 17, karena saat masa itu sedang berlangsung pengadilan ilmu sihir yang akhirnya menghukum mati semua penderita (Atkinson dkk., 1993).

Lahirnya Rumah Sakit Jiwa
            Pada akhir abad pertengahan, banyak rumah sakit didirikan untuk menanggulangi para penderita penyakit jiwa. Rumah Sakit ini bukanlah merupakan pusat perawatan dan penyembuhan, melainkan merupakan semavam penjara dimana para penghuninya dirantai dan didalam sel yang gelap dan kotor, serta dilakukan secara tidak manusiawi (seperti binatang).
            Pada tahun 1792 ada kabar mengembirakan ketika Phillipe Pinel ditempatkan pada salah satu rumah sakit jiwa di Paris, Pinel membuat semacam eksperimen dengan cara melepas rantai yang mengikat penderita. Diluar dugaan orang-orang yang skeptis, yang menganggap Pinel gila karena keberaniannya melepas rantai “binatang” tersebut, percobaan Pinel justru menunjukkan hasil yang lebih baik. Ketika dilepaskan dari kekangannya, lalu ditempatkan di tempat yang bersih dan bercahaya, diperlakukan dengan baik, banyak penderita yang dulunya dianggap tidak dapat disembuhkan memperlihatkan kemajuan yang pesat sehingga diperbolehkan untuk menginggalakan rumah sakit jiwa ( Atkinson dkk., 1993).
            Pada awal abad ke-20, dicapai kemajuan besar dalam bidang obat-obatan dan psikologi. Pada tahun 1905, gangguan fisik yang dikenal sebagai general paresis terbukti memiliki penyebab yang sifatnya fisik, yaitu infeksi sifilis yang diderita sebelum timbulnya gejala gangguan tersebut. General paresis ditandai dengan adanya penurunan fungsi mental dan fisik seseorang secara lambat., perubahan kepribadian, serta adanya delusi dan halusinasi. Tanpa pengobatan penderita penyakit ini akan meninggal dalam beberapa tahun. Pada masa ini general paresis merupakan lebih dari 10% penyebab timbulnya penyakit jiwa, namun pada saat ini hanya sedikit kasus yang dilaporkan berkat efektivitas penisilin sebagai oabt untuk menyembuhkan sifilis (Dale dalam Atkinson dkk., 1993).
            Penemuan general paresis tersebut meyakinkan para ahli bahwa penyakit jiwa berpangkal pada gangguan biologis. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan dua orang ahli yang berbeda juga telah meletakkan hasil pijakan yang penting. Sigmund Freud dan para pengikutnya meletakkan dasar pemahaman dasar penyakit jiwa sebagai gangguan yang berkaitan dengan faktor psikologis, sementara Ivan Pavlov telah berhasil menunjukkan bahwa binatang dapat terganggu karena emosional bila dipaksa mengambil keputusan diluar kemampuan mereka (Atkinson dkk., 1993).
            Kemajuan-kemajuan kemampuan diatas agaknya tidak mempengaruhi pandangan masyarakat, bahwa rumah sakit jiwa itu adalah suatu tempat horor dimana para penghuninya dihinggapi rasa takut. Adalah Clifford Beers, mantan penderita gangguan manik depresif hingga pernah dirumahsakitkan selama 3 tahun. Selama perawatannya di rumah sakit jiwa, Beers tidak lagi mendapat perlakuan di rantai maupun disiksa, akan tetapi karena penderitaannya dia pernah memakai baju pengikat (straitjacket) untuk mengendaliakn pemberontakannya. Kurangnya dana pada rumah sakit jiwa pada umumnya menyebabkan suatu rumah sakit jiwa sesak dengan barang-barang, makanan yang bergizi rendah, serta para pembezoek yang tidak simpatik; semua itu yang menyebabkan rumah sakit jiwa jauh dari menyenangkan. Setelah sembuh, Beers menuliskan semua pengalamannya selama di rumah sakit jiwa tersebut dalam bukunya yang terkenal pada waktu itu: A Mind That Found Itself (1908). Beers tidak henti-hentinya untuk mendidik masyarakat tentang penyakit jiwa serta membantu mengorganisasikan Komite Nasional untuk Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1950, organisasi ini lalu bergabung dengan dua kelompok lain untuk membentuk Asosiasi Nasional Kesehatan Jiwa. Gerakan ini ternyata berpengaruh besar pada pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa.
Sumber dari :
Prabowo. H. 1995. Seni PsikopatologiSebagai Alat Bantu Terapi. Edisi Revisi. Makalah (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.




Pendekatan Kesehatan Mental
Orientasi Klasik
Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.

Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya.

Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat  kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.
http://unpredictablepeople.wordpress.com/2011/03/24/pendekatan-kesehatan-mental/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar